Jakarta - Tol Trans Sumatera (JTTS) adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah dibangun sejak tahun 2015. Salah satu proyek andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini dibangun oleh PT Hutama Karya (Persero) atau HK dan membentang 2.769 kilometer (km).
Direktur Keuangan HK Hilda Savitri menjelaskan proyek tersebut masuk dalam kategori tidak layak secara finansial, sehingga dibutuhkan BUMN untuk menjalankan penugasannya.
"Kendala terbesar dari proyek JTTS ini yang menjadi background kenapa HK ditugaskan adalah karena proyek ini tidak layak secara finansial, di mana commercial IRR (internal rate of return) atau financial IRR daripada proyek ini yang telah dihitung oleh konsultan rata-rata hanya sekitar 7%," kata Hilda dalam webinar Prodeep Institute, Sabtu (11/7/2020).
Saat ini, HK sudah mengoperasikan 364 km dari total bentang 2.769 km tersebut. Namun, hingga saat ini pendapatan yang diperoleh HK dari pengoperasian tol masih sangat kecil karena jumlah kendaraan yang melintas sangat sedikit.
"Traffic yang ada di JTTS ini berada jauh di bawah minimum traffic yang secara komersial yaitu sekitar 25.000 volume dari traffic, sementara yang ada saat ini semua di bawah 15.000 sampai di bawah 10.000 per hari," jelas Hilda.
Kebutuhan modal yang besar untuk merampungkan tol ini, yakni Rp 476 triliun menjadi alasan mengapa proyek ini memang tak layak secara finansial. Untuk memperoleh modal itu pun, selain memanfaatkan Penyertaan Modal Negara (PMN), HK juga harus mencari alternatif lain.
"Kami diberikan pengelolaan jalan tol JORR S dan ATP, dan berdasarkan pemasukan daripada JORR S dan ATP ini kami dapat menerbitkan obligasi sebesar Rp 11 triliun, di mana dananya digunakan untuk pembangunan JTTS. Ada juga dukungan konstruksi 130 km atau senilai Rp 16 triliun di mana dukungan konstruksi ini diambil dari konsesi jalan tol Trans Jawa di mana para operator juga harus melakukan pembangunan 130 km di JTTS. Lalu juga ada VGF untuk tunnel, dan ada ekuitas partner," papar dia.
HK juga menerbitkan surat utang sebesar US$ 600 juta untuk melanjutkan pembangunan JTTS di ruas Binjai-Langsa, Bukit Tinggi-Padang, Pekanbaru-Bukit Tinggi, Indralaya-Muara Enim, Lubuk Linggau- Bengkulu dan ruas Sigli-Banda Aceh.
"Kami juga berhasil mendapatkan pinjaman sebesar Rp 34,7 triliun di mana salah satunya berasal dari global bond US$ 600 juta," jelas Hilda.
Dengan tingginya kebutuhan pendanaan tersebut, rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) perusahaan meningkat.
"DER perusahaan kami pada akhir 2019 sudah cukup tinggi mencapai 2,78 kali. Mungkin sebagai benchmark untuk komersial biasanya DER yang diinginkan oleh perbankan atau kreditur adalah 2,25 kali. Namun DER yang tinggi ini sebenarnya sebagian besar berasal daripada utang-utang yang dijamin Pemerintah terkait dengan pembangunan JTTS," ujar Hilda.
Meski begitu, karena proyek JTTS juga total aset dan nilai ekuitas dari perusahaan meningkat.
"Perusahaan kami sebelum penugasan total aset kami hanya Rp 12,3 triliun, namun naik menjadi Rp 91,6 triliun di akhir 2019. Semuanya ini adalah karena pembangunan dari JTTS. Nilai ekuitas kami juga pada tahhun 2015 hanya sebesar Rp 5 triliun dan naik menjadi Rp 22,9 triliun, mostly dari setoran Pemerintah terkait pembangunan JTTS," tutupnya. finance.detik.com