Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan dirinya sebagai pemimpin langsung task force atau satuan tugas untuk menangani persebaran virus corona (Covid-19).
Itu disampaikan Presiden saat melakukan jumpa pers kala menginspeksi Bandara Soekarno Hatta sebagai salah satu gerbang Indonesia dengan dunia pada Jumat (13/3) siang.
Namun, sebagai komandan task force corona di Indonesia, penulis ingin Jokowi yang juga kepala negara ini untuk menyampaikan kata 'maaf' kepada seluruh bangsa Indonesia.
Maaf sekiranya lebih tepat, karena kebijakan yang banyak dikritik terkait corona.
Maaf, karena dirinya, selaku komandan satgas itu telah gagal membendung masuknya corona ke Indonesia dengan cepat dan tepat.
Pernyataan maaf yang harus disampaikan karena risiko merebaknya virus itu ke Indonesia itu sudah diperingatkan pelbagai pihak. Mulai dari pakar medis, media massa, penelitian luar negeri, hingga dan badan kesehatan dunia (WHO)-yang akhirnya menyatakan corona sebagai pandemi pada 11 Maret lalu.
Sebagai catatan,
Penulis berharap kalimat 'maaf kepada seluruh rakyat Indonesia' itu keluar dari mulut sang presiden. Pasalnya, sejak kasus itu merebak--masih dengan istilah pneumonia misterius di Wuhan, China pada akhir tahun lalu -- yang terlihat adalah komunikasi publik tak pantas dari para pembantunya.
Lihat juga: Menkes Tantang Harvard Buktikan Virus Corona di Indonesia
Pernyataan publik yang buruk dan komunikasi tak sinkron para pembantu Jokowi yang telah terekam di benak publik lewat pemberitaan-pemberitaan media massa kurun waktu Januari hingga setidaknya per 13 Maret 2020.
Selain itu, langkah pencegahan di gerbang-gerbang wilayah Indonesia serta informasi publik mengenai risiko kemungkinan infeksi corona di Indonesia yang terus mendatangkan keraguan sepanjang Januari-Februari.
Langkah untuk Jokowi
Nasi kini sudah jadi bubur. Oleh karena itu, Sang Presiden harus bergerak cepat, tepat, dan memerhatikan pendapat para pemangku kepentingan: mulai dunia medis, pemerintah daerah, publik lewat media massa, hingga dunia.
Setidaknya ada tiga poin utama yang penulis tangkap dari para pemangku kepentingan, yang harus dilakukan Jokowi untuk penanggulangan dan mitigasi corona.
Pertama, adalah tes spesimen untuk menguji risiko corona tak lagi dilakukan terpusat alias monopoli di Jakarta.
Itu sudah mulai dilakukan Jokowi setelah ia mengaku telah memerintahkan kemenkes agar tak lagi memonopoli lembaga penguji spesimen risiko infeksi Covid-19 pada Jumat (13/3). Mulai Senin (16/3), Kemenkes menyatakan tes spesimen tak harus lagi di Balitbangkes tapi bisa di sejumlah laboratorium lain.
Sayangnya, itu dilakukan setelah tenaga medis hingga pemerintah daerah menuntut hal tersebut sejak pasien positif pertama di Indonesia diumumkan Jokowi. Dan, belakangan pada Jumat itu juga baru terkuak ada surat dari WHO ke Jokowi bertanggal 10 Maret 2020 yang meminta tes risiko infeksi Covid-19 tak lagi dilakukan terpusat.
Kedua, informasi rekam jejak pasien positif Covid-19 yakni di mana dan kapan, bukan identitas sang pasien. Transparansi informasi itulah yang sudah dilakukan di negara lain seperti Singapura dan Korea Selatan, karena penyebaran virus itu dipengaruhi oleh mobilitas orang yang terinfeksi.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, misalnya, mengkritik soal informasi rekam jejak yang seharusnya dapat disediakan pemerintah secara benar dan berkala karena terkait penyebaran dan risiko penularan. Selain itu, pemberian informasi tersebut pun tak melanggar UU Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun justru menjadi kewajiban tatkala wabah melanda.
Sehingga bagi penulis, alasan Jokowi untuk 'menyembunyikan' informasi guna menghindari kepanikan di tengah masyarakat pun menjadi gugur.
Dan bisa jadi, Jokowi tak bersikap cepat macam yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Kami di Jakarta perlu mengetahui siapa saja di mana saja, sehingga kita bisa langsung melakukan tracing. beberapa hari sebelumnya (pasien positif) berkegiatan di mana saja, berkontaknya dengan siapa saja."
Hal sama pun disampaikan kepala daerah lain seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
"Jika ada yang positif yang posisinya di Jawa Barat, jangan sampai pemerintah daerahnya tidak tahu sehingga tidak bisa melakukan penelusuran," kata Ridwan di Gedung Sate, Bandung, Jumat.
"Alamat dan lain-lain tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat. Tapi kami butuh data itu untuk melakukan tindakan terukur," imbuhnya.
Permintaan ketiga adalah Jokowi perlu memastikan jaminan mutu manajemen, respons darurat yang cepat, dan mudah bagi masyarakat Indonesia--yang populer dengan istilah warga +62, serta kapasitas ruang isolasi medis di seluruh wilayah.
Pamungkas dari penulis, Jokowi harus memastikan para anak buahnya tak lagi menyampaikan pernyataan publik yang sembrono, dan tak produktif. Jokowi, selaku kepala negara yang telah bersumpah melindungi seluruh WNI tanpa kecuali itu, tak boleh lagi membiarkan tanggap gagap corona setelah kesalahan premis yang demikian telanjang di mata publik. cnnindonesia.com
Itu disampaikan Presiden saat melakukan jumpa pers kala menginspeksi Bandara Soekarno Hatta sebagai salah satu gerbang Indonesia dengan dunia pada Jumat (13/3) siang.
Namun, sebagai komandan task force corona di Indonesia, penulis ingin Jokowi yang juga kepala negara ini untuk menyampaikan kata 'maaf' kepada seluruh bangsa Indonesia.
Maaf sekiranya lebih tepat, karena kebijakan yang banyak dikritik terkait corona.
Maaf, karena dirinya, selaku komandan satgas itu telah gagal membendung masuknya corona ke Indonesia dengan cepat dan tepat.
Pernyataan maaf yang harus disampaikan karena risiko merebaknya virus itu ke Indonesia itu sudah diperingatkan pelbagai pihak. Mulai dari pakar medis, media massa, penelitian luar negeri, hingga dan badan kesehatan dunia (WHO)-yang akhirnya menyatakan corona sebagai pandemi pada 11 Maret lalu.
Sebagai catatan,
Penulis berharap kalimat 'maaf kepada seluruh rakyat Indonesia' itu keluar dari mulut sang presiden. Pasalnya, sejak kasus itu merebak--masih dengan istilah pneumonia misterius di Wuhan, China pada akhir tahun lalu -- yang terlihat adalah komunikasi publik tak pantas dari para pembantunya.
Lihat juga: Menkes Tantang Harvard Buktikan Virus Corona di Indonesia
Pernyataan publik yang buruk dan komunikasi tak sinkron para pembantu Jokowi yang telah terekam di benak publik lewat pemberitaan-pemberitaan media massa kurun waktu Januari hingga setidaknya per 13 Maret 2020.
Selain itu, langkah pencegahan di gerbang-gerbang wilayah Indonesia serta informasi publik mengenai risiko kemungkinan infeksi corona di Indonesia yang terus mendatangkan keraguan sepanjang Januari-Februari.
Langkah untuk Jokowi
Nasi kini sudah jadi bubur. Oleh karena itu, Sang Presiden harus bergerak cepat, tepat, dan memerhatikan pendapat para pemangku kepentingan: mulai dunia medis, pemerintah daerah, publik lewat media massa, hingga dunia.
Setidaknya ada tiga poin utama yang penulis tangkap dari para pemangku kepentingan, yang harus dilakukan Jokowi untuk penanggulangan dan mitigasi corona.
Pertama, adalah tes spesimen untuk menguji risiko corona tak lagi dilakukan terpusat alias monopoli di Jakarta.
Itu sudah mulai dilakukan Jokowi setelah ia mengaku telah memerintahkan kemenkes agar tak lagi memonopoli lembaga penguji spesimen risiko infeksi Covid-19 pada Jumat (13/3). Mulai Senin (16/3), Kemenkes menyatakan tes spesimen tak harus lagi di Balitbangkes tapi bisa di sejumlah laboratorium lain.
Sayangnya, itu dilakukan setelah tenaga medis hingga pemerintah daerah menuntut hal tersebut sejak pasien positif pertama di Indonesia diumumkan Jokowi. Dan, belakangan pada Jumat itu juga baru terkuak ada surat dari WHO ke Jokowi bertanggal 10 Maret 2020 yang meminta tes risiko infeksi Covid-19 tak lagi dilakukan terpusat.
Kedua, informasi rekam jejak pasien positif Covid-19 yakni di mana dan kapan, bukan identitas sang pasien. Transparansi informasi itulah yang sudah dilakukan di negara lain seperti Singapura dan Korea Selatan, karena penyebaran virus itu dipengaruhi oleh mobilitas orang yang terinfeksi.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, misalnya, mengkritik soal informasi rekam jejak yang seharusnya dapat disediakan pemerintah secara benar dan berkala karena terkait penyebaran dan risiko penularan. Selain itu, pemberian informasi tersebut pun tak melanggar UU Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun justru menjadi kewajiban tatkala wabah melanda.
Sehingga bagi penulis, alasan Jokowi untuk 'menyembunyikan' informasi guna menghindari kepanikan di tengah masyarakat pun menjadi gugur.
Dan bisa jadi, Jokowi tak bersikap cepat macam yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
"Kami di Jakarta perlu mengetahui siapa saja di mana saja, sehingga kita bisa langsung melakukan tracing. beberapa hari sebelumnya (pasien positif) berkegiatan di mana saja, berkontaknya dengan siapa saja."
Hal sama pun disampaikan kepala daerah lain seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
"Jika ada yang positif yang posisinya di Jawa Barat, jangan sampai pemerintah daerahnya tidak tahu sehingga tidak bisa melakukan penelusuran," kata Ridwan di Gedung Sate, Bandung, Jumat.
"Alamat dan lain-lain tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat. Tapi kami butuh data itu untuk melakukan tindakan terukur," imbuhnya.
Permintaan ketiga adalah Jokowi perlu memastikan jaminan mutu manajemen, respons darurat yang cepat, dan mudah bagi masyarakat Indonesia--yang populer dengan istilah warga +62, serta kapasitas ruang isolasi medis di seluruh wilayah.
Pamungkas dari penulis, Jokowi harus memastikan para anak buahnya tak lagi menyampaikan pernyataan publik yang sembrono, dan tak produktif. Jokowi, selaku kepala negara yang telah bersumpah melindungi seluruh WNI tanpa kecuali itu, tak boleh lagi membiarkan tanggap gagap corona setelah kesalahan premis yang demikian telanjang di mata publik. cnnindonesia.com