ISLAMABAD -- Presiden Pakistan Arif Alvi menyuarakan keprihatinan atas kekerasan yang dialami umat Muslim di New Delhi, India. Dia menuding para pemimpin partai yang berkuasa di negara tersebut telah menciptakan kebencian terhadap Muslim.
“Kekerasan yang berlangsung terhadap Muslim di India telah menyakiti,” kata Alvi merujuk pada kerusuhan komunal yang terjadi di New Delhi, Kamis (27/2), dikutip laman Anadolu Agency.
Dia pun menyalahkan para pemimpin India atas kekerasan yang dialami Muslim di sana. “Tidak ada yang bisa berbicara menentang pelanggaran hak asasi manusia di India. Bahkan jika ada hakim yang berbicara melawan ketidakadilan, dia menghadapi tindakan (terhadapnya),” ujar Alvi.
Pernyataan Alvi tersebut tampaknya menyinggung keputusan Presiden India Nath Kovind yang memindahkan seorang hakim di Pengadilan Tinggi New Delhi. Hal itu dilakukan setelah hakim menarik polisi serta pemerintah karena gagal membendung kerusuhan komunal di kota tersebut.
Kerusuhan di New Delhi telah berlangsung sejak Ahad pekan lalu. Terdapat dua kubu yang terlibat, yakni massa pendukung dan penentang Undang-Undang Kewarganegaraan atau Citizenship Amandement Act (CAA).
Bentrokan massa tak terhindarkan. Hingga Kamis lalu, 34 orang dilaporkan tewas. Kelompok pendukung CAA bahkan menyerbu rumah warga Muslim dan membakar dua masjid di New Delhi. Kerusuhan itu disebut merupakan yang terburuk dalam dekade terakhir.
India meratifikasi CAA pada Desember 2019. UU tersebut menjadi dasar bagi otoritas India untuk memberikan status kewarganegaraan kepada para pengungsi Hindu, Kristen, Sikh, Buddha, Jain, dan Parsis dari negara mayoritas Muslim, yakni Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.
Status kewarganegaraan diberikan jika mereka telah tinggal di India sebelum 2015. Namun dalam UU itu tak disebut atau diatur tentang pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi Muslim dari negara-negara terkait. Atas dasar tersebut, CAA dipandang sebagai UU anti-Muslim. republika.co.id
“Kekerasan yang berlangsung terhadap Muslim di India telah menyakiti,” kata Alvi merujuk pada kerusuhan komunal yang terjadi di New Delhi, Kamis (27/2), dikutip laman Anadolu Agency.
Dia pun menyalahkan para pemimpin India atas kekerasan yang dialami Muslim di sana. “Tidak ada yang bisa berbicara menentang pelanggaran hak asasi manusia di India. Bahkan jika ada hakim yang berbicara melawan ketidakadilan, dia menghadapi tindakan (terhadapnya),” ujar Alvi.
Pernyataan Alvi tersebut tampaknya menyinggung keputusan Presiden India Nath Kovind yang memindahkan seorang hakim di Pengadilan Tinggi New Delhi. Hal itu dilakukan setelah hakim menarik polisi serta pemerintah karena gagal membendung kerusuhan komunal di kota tersebut.
Kerusuhan di New Delhi telah berlangsung sejak Ahad pekan lalu. Terdapat dua kubu yang terlibat, yakni massa pendukung dan penentang Undang-Undang Kewarganegaraan atau Citizenship Amandement Act (CAA).
Bentrokan massa tak terhindarkan. Hingga Kamis lalu, 34 orang dilaporkan tewas. Kelompok pendukung CAA bahkan menyerbu rumah warga Muslim dan membakar dua masjid di New Delhi. Kerusuhan itu disebut merupakan yang terburuk dalam dekade terakhir.
India meratifikasi CAA pada Desember 2019. UU tersebut menjadi dasar bagi otoritas India untuk memberikan status kewarganegaraan kepada para pengungsi Hindu, Kristen, Sikh, Buddha, Jain, dan Parsis dari negara mayoritas Muslim, yakni Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.
Status kewarganegaraan diberikan jika mereka telah tinggal di India sebelum 2015. Namun dalam UU itu tak disebut atau diatur tentang pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi Muslim dari negara-negara terkait. Atas dasar tersebut, CAA dipandang sebagai UU anti-Muslim. republika.co.id