Meski sudah mengklarifikasi pernyataannya, Aliansi Keluarga Besar Maluku dan Maluku Utara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tetap mengecam pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang menyebut pengungsi gempa Maluku membebani pemerintah.
Mereka pun memberikan waktu 1 x 24 jam bagi Wiranto agar menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
"Pernyataan Wiranto yang sangat tidak manusiawi dengan menyebut korban gempa Maluku sebagai beban pemerintah. Kami menuntut Wiranto dengan segera menyampaikan permohonan maaf secara terbuka di hadapan media kepada seluruh korban gempa Maluku serta seluruh warga Maluku dan Maluku Utara atas penyataan yang tidak manusiawi," kata Simon Bornama, perwakilan Aliansi Keluarga Besar Maluku dan Maluku Utara DIY di Yogyakarta, Rabu (2/10/2019).
Jika Wiranto tidak minta maaf, maka mereka seluruh warga Maluku dan Maluku Utara akan turun ke jalan untuk memprotes secara langsung. Sebab sebagai menteri, tidak sepantasnya Wiranto menyampaikan hal itu.
Apalagi sejauh ini pemerintah pusat hanya memberikan bantuan Rp 1,3 Milliar pada korban. Jumlah ini tidak sebanding dengan korban nyawa serta kerugian yang dialami oleh masyarakat Maluku dan Maluku Utara yang terkena dampak gempa.
Sebab banyak warga yang masih hidup di hutan untuk bertahan hidup dari hasil alam. Di sisi lain, masih terdapat wilayah-wilayah yang belum menerima bantuan seperti di Pulau Seram.
"Artinya ketika negara hanya mengeluarkan anggaran sebesar Rp 1,3 milliar kepada warga Maluku yang terkena dampak gempa negara merasa sangat terbebani. Hal ini tidak sebanding dengan sumber daya alam Maluku yang selama ini direnggut oleh negara," katanya.
Dicontohkan Simon, dari hasil laut Maluku merupakan penyumbang terbesar dari sektor perikanan untuk Indonesia, setiap tahunnya perikanan Maluku menghasilkan 9,9 juta ton. Jenis ikan yang dihasilkan sangat bervariasi muulai dari ikan karupa, lolosi, toli, gurapa, cakalang, tuna, kerapu tengiri, napoleon dan lain-lain.
Bahkan Kementrian Kelautan dan Perikanan dalam tahun 2019 memiliki nilai ekspor ikan mencapai Rp 40 trilliun. Dari jumlah itu, yang memberikan sumbangsi terbesar dalam nilai ekspor tersebut adalah wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di kepulauan Maluku seperti WPP 715 yang meliputi pulau Seram, WPP 714 meliputi laut Banda dan WPP 718 meliputi laut Arafura.
Meskipun begitu, selama ini masyarakat Maluku cenderung diam dan tidak menuntut apapun dari pemerintah pusat. Secara statistik Provinsi Maluku dari tahun ke tahun tidak pernah keluar dari lingkaran merah lima besar provinsi termiskin di Indonesia.
Padahal Maluku merupakan provinsi tertua bersamaan dengan tujuh provinsi lainnya yang didirikan pertama kali saat awal kemerdekaan. Karenanya selain menuntut permintaan maaf Wiranto, mereka mengharapkan kepada seluruh pihak untuk tidak lagi menganggap Maluku sebagai provinsi pelengkap di Indonesia.
"Kami meminta kepada semua pihak untuk ikut bersolidaritas kepada korban gempa Maluku," kata dia. [suara]
Mereka pun memberikan waktu 1 x 24 jam bagi Wiranto agar menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
"Pernyataan Wiranto yang sangat tidak manusiawi dengan menyebut korban gempa Maluku sebagai beban pemerintah. Kami menuntut Wiranto dengan segera menyampaikan permohonan maaf secara terbuka di hadapan media kepada seluruh korban gempa Maluku serta seluruh warga Maluku dan Maluku Utara atas penyataan yang tidak manusiawi," kata Simon Bornama, perwakilan Aliansi Keluarga Besar Maluku dan Maluku Utara DIY di Yogyakarta, Rabu (2/10/2019).
Jika Wiranto tidak minta maaf, maka mereka seluruh warga Maluku dan Maluku Utara akan turun ke jalan untuk memprotes secara langsung. Sebab sebagai menteri, tidak sepantasnya Wiranto menyampaikan hal itu.
Apalagi sejauh ini pemerintah pusat hanya memberikan bantuan Rp 1,3 Milliar pada korban. Jumlah ini tidak sebanding dengan korban nyawa serta kerugian yang dialami oleh masyarakat Maluku dan Maluku Utara yang terkena dampak gempa.
Sebab banyak warga yang masih hidup di hutan untuk bertahan hidup dari hasil alam. Di sisi lain, masih terdapat wilayah-wilayah yang belum menerima bantuan seperti di Pulau Seram.
"Artinya ketika negara hanya mengeluarkan anggaran sebesar Rp 1,3 milliar kepada warga Maluku yang terkena dampak gempa negara merasa sangat terbebani. Hal ini tidak sebanding dengan sumber daya alam Maluku yang selama ini direnggut oleh negara," katanya.
Dicontohkan Simon, dari hasil laut Maluku merupakan penyumbang terbesar dari sektor perikanan untuk Indonesia, setiap tahunnya perikanan Maluku menghasilkan 9,9 juta ton. Jenis ikan yang dihasilkan sangat bervariasi muulai dari ikan karupa, lolosi, toli, gurapa, cakalang, tuna, kerapu tengiri, napoleon dan lain-lain.
Bahkan Kementrian Kelautan dan Perikanan dalam tahun 2019 memiliki nilai ekspor ikan mencapai Rp 40 trilliun. Dari jumlah itu, yang memberikan sumbangsi terbesar dalam nilai ekspor tersebut adalah wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di kepulauan Maluku seperti WPP 715 yang meliputi pulau Seram, WPP 714 meliputi laut Banda dan WPP 718 meliputi laut Arafura.
Meskipun begitu, selama ini masyarakat Maluku cenderung diam dan tidak menuntut apapun dari pemerintah pusat. Secara statistik Provinsi Maluku dari tahun ke tahun tidak pernah keluar dari lingkaran merah lima besar provinsi termiskin di Indonesia.
Padahal Maluku merupakan provinsi tertua bersamaan dengan tujuh provinsi lainnya yang didirikan pertama kali saat awal kemerdekaan. Karenanya selain menuntut permintaan maaf Wiranto, mereka mengharapkan kepada seluruh pihak untuk tidak lagi menganggap Maluku sebagai provinsi pelengkap di Indonesia.
"Kami meminta kepada semua pihak untuk ikut bersolidaritas kepada korban gempa Maluku," kata dia. [suara]