Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menganggap kesalahan pengetikan atau typo di dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK) adalah skandal besar.
YLBHI menganggap hal itu bukan cuma kesalahan administratif semata. "Pengakuan adanya kesalahan typo itu sebenarnya sebuah skandal besar, karena perdebatan dalam UU itu titik koma saja berdampak besar pada makna dari pasal," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI, M. Isnur di kantornya, Jakarta, Ahad, 6 Oktober 2019.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pemerintah mengembalikan UU KPK kepada DPR karena adanya salah ketik. Hal itu juga yang menjadi alasan Presiden Jokowi belum menandatangani UU tersebut.
Kesalahan pengetikan ada pada Pasal 29 mengenai syarat menjadi pimpinan KPK. Dalam pasal itu tertulis bahwa syarat menjadi pimpinan KPK berumur 50 tahun, namun dalam keterangan yang ditulis dalam tanda kurung disebut 'empat puluh tahun'. Mantan Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Atgas mengatakan usia minimal menjadi komisioner KPK seharusnya ditulis 50 tahun.
Isnur menganggap kesalahan pengetikan itu merupakan bukti kecacatan dalam pembahasan UU KPK yang baru. Dia heran bagaimana kesalahan itu dapat luput dari ratusan anggota DPR dan Kementerian Hukum dan HAM yang terlibat pembahasan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Fajri Nursyamsi menganggap typo tersebut bukan hanya kesalahan teknis. Ia menganggap ada substansi yang sudah berubah dalam pembahasan UU KPK. "Itu bukan salah ketik, karena saat pengesahan bersama seharusnya sudah sangat detail pembahasannya, dari substansi hingga titik dan koma," kata dia.
Fajri mengatakan bila terjadi perubahan substansi dalam UU KPK yang baru ini, maka pembahasan harusnya diulang dari awal. Mekanisme klarifikasi yang dilakukan oleh pemerintah seperti sekarang, menurut dia, tidak cukup. "Harusnya terjadi pembahasan ulang, karena tidak sesuai denhan kesepaktan yang sudah dilalui," kata dia. nasional.tempo.co
YLBHI menganggap hal itu bukan cuma kesalahan administratif semata. "Pengakuan adanya kesalahan typo itu sebenarnya sebuah skandal besar, karena perdebatan dalam UU itu titik koma saja berdampak besar pada makna dari pasal," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI, M. Isnur di kantornya, Jakarta, Ahad, 6 Oktober 2019.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pemerintah mengembalikan UU KPK kepada DPR karena adanya salah ketik. Hal itu juga yang menjadi alasan Presiden Jokowi belum menandatangani UU tersebut.
Kesalahan pengetikan ada pada Pasal 29 mengenai syarat menjadi pimpinan KPK. Dalam pasal itu tertulis bahwa syarat menjadi pimpinan KPK berumur 50 tahun, namun dalam keterangan yang ditulis dalam tanda kurung disebut 'empat puluh tahun'. Mantan Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Atgas mengatakan usia minimal menjadi komisioner KPK seharusnya ditulis 50 tahun.
Isnur menganggap kesalahan pengetikan itu merupakan bukti kecacatan dalam pembahasan UU KPK yang baru. Dia heran bagaimana kesalahan itu dapat luput dari ratusan anggota DPR dan Kementerian Hukum dan HAM yang terlibat pembahasan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Fajri Nursyamsi menganggap typo tersebut bukan hanya kesalahan teknis. Ia menganggap ada substansi yang sudah berubah dalam pembahasan UU KPK. "Itu bukan salah ketik, karena saat pengesahan bersama seharusnya sudah sangat detail pembahasannya, dari substansi hingga titik dan koma," kata dia.
Fajri mengatakan bila terjadi perubahan substansi dalam UU KPK yang baru ini, maka pembahasan harusnya diulang dari awal. Mekanisme klarifikasi yang dilakukan oleh pemerintah seperti sekarang, menurut dia, tidak cukup. "Harusnya terjadi pembahasan ulang, karena tidak sesuai denhan kesepaktan yang sudah dilalui," kata dia. nasional.tempo.co