Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal pada Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang.
"Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya," katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09).
Selain itu, lanjut Zaenur, dengan berkurangnya ketentuan minimum denda kepada koruptor, akan semakin sulit untuk mengembalikan kerugian negara.
"Itu bahaya karena dengan hilangnya uang pengganti maka upaya pengembalian uang kejahatan itu menjadi susah," katanya.
Calon pimpinan KPK 'bermasalah' lolos seleksi, mengapa bisa terjadi?
RKUHP: Wartawan atau netizen yang 'menghina presiden' diancam 4,5 tahun penjara
RKUHP : 'Berpotensi menjerat korban perkosaan yang melakukan aborsi'
Hukuman kebiri kimia pertama di Indonesia belum bisa diterapkan
Akan tetapi, anggota Komisi Hukum DPR, Masinton Pasaribu, berdalih bahwa draf RKUHP belum final sehingga masih ada kemungkinan-kemungkinan perubahan.
"Itu nanti proses pemidanaannya dibarengi denda. Jadi (penekanannya) pada kerugian negara," katanya, Rabu (04/09).
Selain itu, Masinton juga memastikan seluruh UU yang pasal pidananya diatur dalam RKUHP, tidak akan digunakan dalam proses hukum.
"Undang Undang yang mengatur tentang… Undang Undang Tipikor atau apa segala macam, itu tetap berlaku sepanjang belum diatur dalam RKUHP," tambahnya.
Berdasarkan draf RKUHP per 28 Agustus 2019 yang diterima BBC Indonesia, setidaknya ada tiga pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara.
Padahal pada Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar paling singkat empat tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara.
Begitu pun dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp10 juta.
Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).
Sejauh ini, UU Tipikor belum memenuhi seluruh standard dari UNCAC.
"Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP," jelas Zaenur.
Korupsi jadi kejahatan biasa
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP.
Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus.
"Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu," kata Fickar kepada BBC Indonesia, Rabu (04/09).
Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang.
"Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu," lanjut Fickar.
Oleh karena itu, Fickar menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP.
"Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP," katanya.
Sejak awal, semangat RKUHP adalah sebagai wadah yang mengumpulkan dan mengatur pasal pidana dari semua UU.
Tapi sebagian UU saat ini sudah mengatur pasal-pasal pidana dan denda di dalamnya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menilai DPR harus hati-hati dalam mengumpulkan pasal-pasal dari UU lainnya ke dalam RKUHP karena berpotensi menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum.
Misalnya, di dalam UU Tipikor sudah terdapat aturan pidana dan sanksi materi, akan tetapi hal tersebut juga diatur dalam RKUHP dengan prinsip dan bobot yang berbeda.
"(Kalau) ujung-ujungnya itu pidana yang dimasukkan dalam KUHP tapi merujuk UU di luar KUHP untuk apa dimasukkan dalam KUHP?" katanya.
Menurutnya, ada dua pilihan yang bisa dilakukan oleh DPR supaya RKUHP bisa menjadi payung hukum pidana bagi semua UU.
Pertama, seluruh pasal-pasal pidana yang sudah diatur dalam UU tidak perlu dimasukkan dalam RKUHP.
"Atau kedua, pindahkan semua, masukkan semua ke RKUHP. Tebal ya tebal. Itu konsekuensinya," pungkas Erasmus. bbc.com
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang.
"Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya," katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09).
Selain itu, lanjut Zaenur, dengan berkurangnya ketentuan minimum denda kepada koruptor, akan semakin sulit untuk mengembalikan kerugian negara.
"Itu bahaya karena dengan hilangnya uang pengganti maka upaya pengembalian uang kejahatan itu menjadi susah," katanya.
Calon pimpinan KPK 'bermasalah' lolos seleksi, mengapa bisa terjadi?
RKUHP: Wartawan atau netizen yang 'menghina presiden' diancam 4,5 tahun penjara
RKUHP : 'Berpotensi menjerat korban perkosaan yang melakukan aborsi'
Hukuman kebiri kimia pertama di Indonesia belum bisa diterapkan
Akan tetapi, anggota Komisi Hukum DPR, Masinton Pasaribu, berdalih bahwa draf RKUHP belum final sehingga masih ada kemungkinan-kemungkinan perubahan.
"Itu nanti proses pemidanaannya dibarengi denda. Jadi (penekanannya) pada kerugian negara," katanya, Rabu (04/09).
Selain itu, Masinton juga memastikan seluruh UU yang pasal pidananya diatur dalam RKUHP, tidak akan digunakan dalam proses hukum.
"Undang Undang yang mengatur tentang… Undang Undang Tipikor atau apa segala macam, itu tetap berlaku sepanjang belum diatur dalam RKUHP," tambahnya.
Berdasarkan draf RKUHP per 28 Agustus 2019 yang diterima BBC Indonesia, setidaknya ada tiga pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara.
Padahal pada Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar paling singkat empat tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara.
Begitu pun dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp10 juta.
- Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp50juta menjadi Rp10juta.
- Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama lima tahun penjara menjadi empat tahun penjara.
- Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp200juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp250juta pada UU Tipikor.
Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).
Sejauh ini, UU Tipikor belum memenuhi seluruh standard dari UNCAC.
"Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP," jelas Zaenur.
Korupsi jadi kejahatan biasa
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP.
Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus.
"Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu," kata Fickar kepada BBC Indonesia, Rabu (04/09).
Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang.
"Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu," lanjut Fickar.
Oleh karena itu, Fickar menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP.
"Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP," katanya.
Sejak awal, semangat RKUHP adalah sebagai wadah yang mengumpulkan dan mengatur pasal pidana dari semua UU.
Tapi sebagian UU saat ini sudah mengatur pasal-pasal pidana dan denda di dalamnya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menilai DPR harus hati-hati dalam mengumpulkan pasal-pasal dari UU lainnya ke dalam RKUHP karena berpotensi menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum.
Misalnya, di dalam UU Tipikor sudah terdapat aturan pidana dan sanksi materi, akan tetapi hal tersebut juga diatur dalam RKUHP dengan prinsip dan bobot yang berbeda.
"(Kalau) ujung-ujungnya itu pidana yang dimasukkan dalam KUHP tapi merujuk UU di luar KUHP untuk apa dimasukkan dalam KUHP?" katanya.
Menurutnya, ada dua pilihan yang bisa dilakukan oleh DPR supaya RKUHP bisa menjadi payung hukum pidana bagi semua UU.
Pertama, seluruh pasal-pasal pidana yang sudah diatur dalam UU tidak perlu dimasukkan dalam RKUHP.
"Atau kedua, pindahkan semua, masukkan semua ke RKUHP. Tebal ya tebal. Itu konsekuensinya," pungkas Erasmus. bbc.com