Rencana pemerintah mengeluarkan aturan yang menjatuhkan sanksi terhadap peserta BPJS Kesehatan yang telat membayar iuran dinilai tidak efektif. Sebab, aturan itu justru membuat masyarakat tidak nyaman.
Begitu kata Anggota fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/10).
Apalagi, sanksi tersebut hingga menyasar tidak dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
"Kalau diancam dengan sanksi, dikhawatirkan tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman," kata Saleh.
Menurut Saleh, sanksi-sanksi tersebut pun tidak bersifat jangka panjang dan tidak mengikat. Karenanya dia menyarankan agar dilakukan pendekatan persuasif dan partisipatif.
"Lebih baik, persoalan tunggakan iuran tersebut diselesaikan dengan pendekatan partisipatoris dan persuasif," tegasnya.
Pemerintah terlalu mudah mengeluarkan aturan untuk mengatasi persoalan BPJS. Padahal, setiap kali ada aturan acap kali mendapat penolakan dari masyarakat.
Justru, kata Saleh, semakin banyak aturan pelayanan yang diberikan justru semakin ribet dan birokratis.
"Kalau pakai sanksi itu, orang tidak akan khawatir. Sebab, orang tidak selalu butuh IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah. Paspor, misalnya, itu hanya dibutuhkan oleh orang yang sering ke luar negeri. Kalau dia menunggak, masa harus ditunggu dia membuat paspor untuk dijatuhi sanksi? Atau masa harus menunggu habis masa berlaku paspornya?," demikian Saleh.
Sekadar informasi, tunggakan peserta mandiri menyebabkan defisit yang ditanggung BPJS Kesehatan terus membengkak. Pada 2018, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencatat BPJS Kesehatan telah mengalami gagal bayar sebesar Rp 9,1 triliun.
Adapun tahun 2019 ini, defisit tersebut hampir meyentuh Rp 32,84 triliun. politik.rmol.id
Begitu kata Anggota fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/10).
Apalagi, sanksi tersebut hingga menyasar tidak dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
"Kalau diancam dengan sanksi, dikhawatirkan tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman," kata Saleh.
Menurut Saleh, sanksi-sanksi tersebut pun tidak bersifat jangka panjang dan tidak mengikat. Karenanya dia menyarankan agar dilakukan pendekatan persuasif dan partisipatif.
"Lebih baik, persoalan tunggakan iuran tersebut diselesaikan dengan pendekatan partisipatoris dan persuasif," tegasnya.
Pemerintah terlalu mudah mengeluarkan aturan untuk mengatasi persoalan BPJS. Padahal, setiap kali ada aturan acap kali mendapat penolakan dari masyarakat.
Justru, kata Saleh, semakin banyak aturan pelayanan yang diberikan justru semakin ribet dan birokratis.
"Kalau pakai sanksi itu, orang tidak akan khawatir. Sebab, orang tidak selalu butuh IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah. Paspor, misalnya, itu hanya dibutuhkan oleh orang yang sering ke luar negeri. Kalau dia menunggak, masa harus ditunggu dia membuat paspor untuk dijatuhi sanksi? Atau masa harus menunggu habis masa berlaku paspornya?," demikian Saleh.
Sekadar informasi, tunggakan peserta mandiri menyebabkan defisit yang ditanggung BPJS Kesehatan terus membengkak. Pada 2018, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencatat BPJS Kesehatan telah mengalami gagal bayar sebesar Rp 9,1 triliun.
Adapun tahun 2019 ini, defisit tersebut hampir meyentuh Rp 32,84 triliun. politik.rmol.id