Oleh Ratna Puspita*
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menerima serangan dari dua orang tidak dikenal ketika melakukan kunjungan kerja ke Serang, Banten, Kamis (10/10) lalu. Kala itu, kabar soal serangan terhadap Wiranto mengalir dengan cepat lewat media sosial.
Foto-foto melalui telepon seluler muncul satu per satu lewat pesan-pesan percakapan. Media sosial, baik dalam bentuk pesan percakapan atau pesan berjaringan, lebih cepat mengabarkan kejadian tersebut dibandingkan media arus utama.
Sebelum ada berita dari media arus utama, komentar-komentar tentang kejadian ini pun bermunculan di media sosial. Ada satu suara yang menggema ketika itu di media sosial: “Ah, rekayasa kali.” Sebelum ada berita dari media arus utama, mengandalkan sebuah foto di media sosial, banyak yang mengira bahwa tidak ada korban dalam kejadian tersebut.
Berita awal yang muncul di media daring, yakni mengabarkan kejadian penusukan lewat konfirmasi atau pernyataan membenarkan. Data lain perlahan-lahan muncul, baik melalui media arus utama maupun media sosial.
Informasi kedua yang muncul, yakni ternyata serangan melukai kapolres. Informasi lanjutannya, Wiranto juga terkena tusukan gunting sehingga harus mendapatkan perawatan di rumah sakit lokal hingga kemudian dibawa ke RSPAD Gatot Subroto.
Komentar-komentar soal kejadian ini pun berseliweran. Ada nada yang mirip dalam gema pesan di media sosial, yakni bersimpati atau tidak bersimpati dengan kejadian yang menimpa Wiranto. Mungkin ada yang tidak peduli dan tidak berada di keduanya, tetapi suara-suara ini tidak menggema dalam percakapan media sosial.
Selain persoalan masa lalu Wiranto yang terkait dengan hak azasi manusia (HAM), saya berpendapat reaksi warga internet (warganet) dalam penusukan ini juga lantaran ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan aparat. Pendapat ini berdasarkan reaksi pertama yang muncul adalah kejadian ini sebagai rekayasa.
Komentar-komentar lainnya yang tampak menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan aparat seperti kesimpulan soal afiliasi pelaku penusukan dan foto dua pelaku yang dengan cepat menyeruak ke ruang publik. Apa pun pernyataan dari pemerintah atau kepolisian yang muncul di media sosial, sebagian warganet dengan cepat memunculkan kontranarasi.
Kontranarasi ini bukan hanya muncul dari warganet yang tidak termasuk dalam ‘keluarga pemerintah’. Narasi berseberangan dengan pernyataan-pernyataan pemerintah juga muncul dari orang-orang yang ternyata keluarga TNI.
KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa mencopot jabatan dua anggotanya lantaran istri kedua anggota membuat unggahan yang memunculkan narasi berbeda dari narasi yang muncul di media arus utama. Unggahan yang dilabeli sebagai unggahan nyinyir itu dianggap melanggar UU ITE.
Kontranarasi yang berupaya keras membantah narasi pemerintah ini tidak muncul tanpa sebab atau begitu saja. Narasi yang berlawanan ini muncul karena kegagalan pemerintah menjaga kepercayaan publik.
Namun, pencopotan dua anggota TNI dari jabatannya itu pun membuat saya menjadi bertanya-tanya: informasi macam apa yang dikonsumsi oleh keluarga dari anggota TNI sehingga bisa berseberangan dengan pemerintah. Tidak hanya itu, berani mengungkapkannya di ruang publik.
Menilik kondisi ini, hal yang tidak bisa saya lupakan, yakni kualitas informasi yang muncul selama perseteruan dua kubu sejak Pemilu 2014. Media sosial sebagai ruang publik yang seharusnya memunculkan diskursus justru menjadi pertarungan informasi dan disinformasi.
Tidak jarang ada perang opini di media sosial yang melibatkan dua kubu, atau mungkin tiga jika dihitung pertarungan dengan kelompok golongan putih, soal informasi milik siapa yang benar. Debat soal kebenaran informasi ini berlangsung tidak hanya dalam hitungan jam, melainkan lima tahun.
Bahkan hingga sekarang, debat soal kebenaran informasi ini masih dengan mudah ditemukan di ruang publik dan ruang-ruang percakapan lain (seperti warung Indomie dan warung kopi). Debat siapa yang paling benar ini ditopang (kadang) oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi bicara soal hal yang dibicarakannya.
Hanya sekadar tahu, sekadar punya pemahaman, kemudian bicara. Padahal, kualitas informasi yang muncul di ruang publik juga turut menentukan kualitas demokrasi.
Soal kualitas informasi ini, saya pun teringat percakapan seputar komentar berbeda orang-orang yang menjenguk Wiranto. Misalnya, ada yang menyebut usus Wiranto dipotong 47 sentimeter, ada pula yang menyebut 40 sentimeter.
Kenapa bisa ada dua pendapat berbeda? Perbedaan data panjang soal usus ini kemudian memunculkan diskusi di media sosial soal berapa panjang usus manusia.
Pernyataan lain yang memunculkan reaksi negatif publik terhadap kejadian ini, yakni Wiranto kehilangan 3,5 liter darah. Warganet pun mengeluarkan analisis soal jumlah darah dalam tubuh manusia.
Dalam percakapan tersebut, seseorang pun menyatakan, “Yang bisa menjawab cuma dokter kalau soal itu.”
Komentar-komentar soal kondisi kesehatan seseorang memang sebaiknya hanya dikeluarkan oleh dokter, bukan pejabat-pejabat yang menjenguk dan tidak punya latar belakang medis. Komentar yang kemudian hanya akan memperkeruh kualitas informasi di ruang publik.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menerima serangan dari dua orang tidak dikenal ketika melakukan kunjungan kerja ke Serang, Banten, Kamis (10/10) lalu. Kala itu, kabar soal serangan terhadap Wiranto mengalir dengan cepat lewat media sosial.
Foto-foto melalui telepon seluler muncul satu per satu lewat pesan-pesan percakapan. Media sosial, baik dalam bentuk pesan percakapan atau pesan berjaringan, lebih cepat mengabarkan kejadian tersebut dibandingkan media arus utama.
Sebelum ada berita dari media arus utama, komentar-komentar tentang kejadian ini pun bermunculan di media sosial. Ada satu suara yang menggema ketika itu di media sosial: “Ah, rekayasa kali.” Sebelum ada berita dari media arus utama, mengandalkan sebuah foto di media sosial, banyak yang mengira bahwa tidak ada korban dalam kejadian tersebut.
Berita awal yang muncul di media daring, yakni mengabarkan kejadian penusukan lewat konfirmasi atau pernyataan membenarkan. Data lain perlahan-lahan muncul, baik melalui media arus utama maupun media sosial.
Informasi kedua yang muncul, yakni ternyata serangan melukai kapolres. Informasi lanjutannya, Wiranto juga terkena tusukan gunting sehingga harus mendapatkan perawatan di rumah sakit lokal hingga kemudian dibawa ke RSPAD Gatot Subroto.
Komentar-komentar soal kejadian ini pun berseliweran. Ada nada yang mirip dalam gema pesan di media sosial, yakni bersimpati atau tidak bersimpati dengan kejadian yang menimpa Wiranto. Mungkin ada yang tidak peduli dan tidak berada di keduanya, tetapi suara-suara ini tidak menggema dalam percakapan media sosial.
Selain persoalan masa lalu Wiranto yang terkait dengan hak azasi manusia (HAM), saya berpendapat reaksi warga internet (warganet) dalam penusukan ini juga lantaran ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan aparat. Pendapat ini berdasarkan reaksi pertama yang muncul adalah kejadian ini sebagai rekayasa.
Komentar-komentar lainnya yang tampak menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan aparat seperti kesimpulan soal afiliasi pelaku penusukan dan foto dua pelaku yang dengan cepat menyeruak ke ruang publik. Apa pun pernyataan dari pemerintah atau kepolisian yang muncul di media sosial, sebagian warganet dengan cepat memunculkan kontranarasi.
Kontranarasi ini bukan hanya muncul dari warganet yang tidak termasuk dalam ‘keluarga pemerintah’. Narasi berseberangan dengan pernyataan-pernyataan pemerintah juga muncul dari orang-orang yang ternyata keluarga TNI.
KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa mencopot jabatan dua anggotanya lantaran istri kedua anggota membuat unggahan yang memunculkan narasi berbeda dari narasi yang muncul di media arus utama. Unggahan yang dilabeli sebagai unggahan nyinyir itu dianggap melanggar UU ITE.
Kontranarasi yang berupaya keras membantah narasi pemerintah ini tidak muncul tanpa sebab atau begitu saja. Narasi yang berlawanan ini muncul karena kegagalan pemerintah menjaga kepercayaan publik.
Namun, pencopotan dua anggota TNI dari jabatannya itu pun membuat saya menjadi bertanya-tanya: informasi macam apa yang dikonsumsi oleh keluarga dari anggota TNI sehingga bisa berseberangan dengan pemerintah. Tidak hanya itu, berani mengungkapkannya di ruang publik.
Menilik kondisi ini, hal yang tidak bisa saya lupakan, yakni kualitas informasi yang muncul selama perseteruan dua kubu sejak Pemilu 2014. Media sosial sebagai ruang publik yang seharusnya memunculkan diskursus justru menjadi pertarungan informasi dan disinformasi.
Tidak jarang ada perang opini di media sosial yang melibatkan dua kubu, atau mungkin tiga jika dihitung pertarungan dengan kelompok golongan putih, soal informasi milik siapa yang benar. Debat soal kebenaran informasi ini berlangsung tidak hanya dalam hitungan jam, melainkan lima tahun.
Bahkan hingga sekarang, debat soal kebenaran informasi ini masih dengan mudah ditemukan di ruang publik dan ruang-ruang percakapan lain (seperti warung Indomie dan warung kopi). Debat siapa yang paling benar ini ditopang (kadang) oleh orang-orang yang tidak punya kompetensi bicara soal hal yang dibicarakannya.
Hanya sekadar tahu, sekadar punya pemahaman, kemudian bicara. Padahal, kualitas informasi yang muncul di ruang publik juga turut menentukan kualitas demokrasi.
Soal kualitas informasi ini, saya pun teringat percakapan seputar komentar berbeda orang-orang yang menjenguk Wiranto. Misalnya, ada yang menyebut usus Wiranto dipotong 47 sentimeter, ada pula yang menyebut 40 sentimeter.
Kenapa bisa ada dua pendapat berbeda? Perbedaan data panjang soal usus ini kemudian memunculkan diskusi di media sosial soal berapa panjang usus manusia.
Pernyataan lain yang memunculkan reaksi negatif publik terhadap kejadian ini, yakni Wiranto kehilangan 3,5 liter darah. Warganet pun mengeluarkan analisis soal jumlah darah dalam tubuh manusia.
Dalam percakapan tersebut, seseorang pun menyatakan, “Yang bisa menjawab cuma dokter kalau soal itu.”
Komentar-komentar soal kondisi kesehatan seseorang memang sebaiknya hanya dikeluarkan oleh dokter, bukan pejabat-pejabat yang menjenguk dan tidak punya latar belakang medis. Komentar yang kemudian hanya akan memperkeruh kualitas informasi di ruang publik.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id